equest72 Blog

Thursday, September 21, 2006

Teknologi dan Lahirnya Kultur Baru

Harus diakui... saya menaruh harapan tinggi dalam implementasi 3G di Indonesia. Barusan saya membaca sebuah buku, berjudul The Long Tail yang ditulis oleh Chris Anderson. Sangat menarik, melihat terjadinya perubahan kultural di dalam masyarakat modern. Seperti yang ditulis oleh John Battele, dalam bukunya: The Search, yang berisi cerita tentang Google, bahwa semua produk dan jasa yang berhasil bersifat kultural. Mouse, adalah contoh gamblangnya. Perangkat ini mampu merubah dunia komputer, dimana alih-alih menggunakan keyboard dan tombol tabulasi untuk berpindah-pindah menu, kita cukup menggerakan kursor dan mengkliknya di sana. Yang berikutnya adalah WYSIWYG pada MS Word. Bayangkan, untuk membuat bold dalam WordStar harus didahuli dengan memblok tulisan dengan perintah CTRL+K+B dan CTRL+K+K. Ini hanya untuk memblok dan bukan membuatnya menjadi tulisan tebal (saya malah sudah lupa command untuk membuat bold). Gila, kalau dipikir-pikir... dengan WYSIWYG, mouse dan sedikit menekan tuts (CTRL+B) tulisan yang tampil di layar berubah menjadi tebal (bandingkan dengan WordStar yang tidak). Pantas saja, WordStar punah.

Sekali lagi: antropologi + teknologi. Professor W. Chan Kim menyebutnya Value Innovation. Jadi tidak selalu teknologi. Bahkan di luar teknologi, masih banyak faktor lain penyebab gagal atau berhasilnya suatu perusahaan atau produk atau jasa. Ambil sebagai contoh Global Crossing, perusahaan ini berencana menggelar jaringan MPLS (sebuah teknologi paling canggih dalam dunia networking) terbesar di dunia dan flop. Why? Missmanagement. Garry Winnick jelas bertanggung jawab atas bangkrutnya Global Crossing. Starbucks, sebagai kopi favorit saya, tidak menggunakan teknologi yang tinggi-tinggi amat untuk membuat kopi (tapi tetap diperlukan teknologi, dan bahkan dalam bukunya, Howard Schutlz, Pour Your Heart Into It, menjelaskan bagaimana Starbucks meningkatkan teknologi coffee roasting dan coffe brewing). Salah satu kunci keberhasilan Google -imho- dapat dijelaskan dengan antropologi ini yang dalam bahasa Google disebut Zeitgeist.

Telepon genggam sebagai salah satu alat komunikasi telah menjadi sesuatu yang kultural (Tahu lagu dangdut SMS yang terkenal itu khan?). Bersifat kultural karena penetrasi penggunanya yang sudah merasuk hingga ke pelosok dan begitu banyaknya individu yang tergantung kepadanya. Seperti ada yang kurang kalau keluar rumah enggak bawa handphone, begitulah kira-kira. Nah, karena penetrasi telepon kabel (wireline) yang rendah di Indonesia. Saya menaruh harapan yang besar kepada implementasi 3G (atau bahkan 4G) di Indonesia untuk meningkatkan penetrasi penggunaan telekomunikasi karena saya melihat bahwa kendala utama di negara ini pada saat ini adalah mahalnya biaya akses. Saat ini, teknologi dan perangkat core dan aggregator sudah menjadi murah dan feasible untuk diimplementasikan, misal:

  1. Fiber optic: bahkan PGN (atau oil and gas company lain) pun bisa menggelar dark fiber.
  2. EDFA (Erbium Doped Fiber Amplifier), untuk repeater yang memungkinkan penguatan sinyal dari optik-ke-optik, dibanding dulu: optik-listrik-optik.
  3. Multiplikasi kapasitas: DWDM, multipeksing di tingkat lambda, yang memungkinkan kapasitas tinggi (DWDM yang terakhir yang saya ketahui sanggup memberikan kapasitas hingga 2,5 Gbps).
  4. Cisco Gigabit Switch Router dan Juniper M Series (produk Juniper, menangani minimal 5 Juta Paket per detik) tidak ada produk edge router dari Juniper Networks.. (kedua perangkat dikembangkan oleh orang yang sama: Tony Li)

dan lain-lain

Saat ini sudah jelas tidak feasible (walau pun saya berargumen bahwa hal ini karena kurangnya atau tidak ada dari kita yang memikirkan hal ini) untuk menggelar kabel tembaga dan meningkatkan penetrasi pengguna telekomunikasi di Indonesia. Jawabannya memang harus wireless. Sebagaimana diuraikan oleh Anderson, di negara-negara dimana penetrasi broadband sudah tinggi telah terjadi perubahan kultural yang mendasar, yaitu: tumbuhnya niche market dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu kuatnya perubahan kultur ini hingga saat penyerahan Emmy Awards, Conan O'Brian, sebagai host acara menyebutkan beberapa produk / layanan yang tersedia yang menyebabkan munculnya kultur baru ini seperti: YouTube, TiVo, iPod dan lain-lain. Saya baru menyadari perubahan kultur yang drastis ini pada saat saya membeli PC Dell Optilex GX620 MT dengan layar lebar (20 inch) dan tiba-tiba saja hal seperti ini terjadi:

  1. Saya melakukan searching dan download video menggunakan layanan torrent (BitTorrent) atau P2P (Morpheus).
  2. Saya copy file ukuran besar tersebut ke dalam iPod saya.
  3. Saya pindahkan ke hard disk Optiplex di rumah.
  4. Saya mainkan dengan sound system JBL Stick --> rasanya seperti nonton film di bioskop aja..!

(Pada awalnya, saya membeli Dell layar 20 inch, adalah untuk fotografi digital, wish list saya berikutnya adalah (1) Dell XPS, yang mampu menyimpan storage hingga 1,5TB yang dikembangkan khusus untuk gamers dan (2) Apple iMac untuk fotografi digital saya).

Apa yang saya ceritakan ini mungkin tampak nonsense untuk orang Indonesia kebanyakan, karena hampir semua film bagus sudah ada DVD bajakannya. Tapi, pertanyaan nya adalah bagaimana dengan film-film yang tidak beredar di Indonesia. Sebagai contoh, saya iseng-iseng melakukan searching dengan judul Zulu Dawn (film ini seperti Perang Puputan di Badung, Bali yang baru saja diperingati), sebuah film yang terbit tahun 70-an dan mendapatkannya di Internet P2P. "Ini luar biasa..!" pikir saya (sayang nya, karena koneksi yang lambat, saya belum berhasil men-download-nya).

Sama dengan Anderson saya melihat perubahan kultural yang mendasar sedang terjadi di dunia. Perubahan ini terjadi disebabkan oleh tiga alasan:

  1. Meningkatnya computing power (dan harga yang terus turun). Persaingan Intel dan AMD baik buat perkembangan pasar. Menurut sebuah perhitungan, antara tahun 1976 dan 1999 – dan bukan karena Hukum Moore – harga komputer rata-rata turun 27% per tahun (Sweatshop a la Apple BusinessWeek, 26 Juli 2006, pp 21-22). Hal ini terjadi, simply dengan memindahkan manufaktur ke tempat yang man labor nya lebih murah.
  2. Peningkatan kapasitas storage dan harga yang turun terus. Tahun lalu, Apple RAID 1 TB berharga US$ 13,000 dan sekarang dengan harga yang sama kita bisa mendapat 7 TB. Sony PS3 menggunakan disc dengan format BluRay yang mencapai beberapa kali atas format DVD yang ada saat ini. Teknologi virtual storage, seperti NetApps, akan menjadi salah satu pendorong juga.
  3. Bandwidth availability. Bukan bandwidth di tingkat core network, tetapi di tingkat akses (last mile).

Dari ketiga faktor ini lah munculnya beragam content, data, dan statistik. Web blogs yang mampu menyaingin major media seperti MSNBC. MySpace dengan lebih 100 juta friends. Anda bisa melakukan fotografi dari handphone dan langung meng-upload nya ke web blog (www.cyworld.com) dengan kapasitas storage yang tidak dibatasi. Wikipedia berisi 1 juta artikel (bandingkan dengan Britannica - 80.000 dan Encarta - 45.000). Dan saat diperlukan koreksi atas artikel di Wikipedia, secara instan bisa dilakukan, sementara itu Britannica harus menerbitkan edisi yang terbaru dan keburu basi). Google Maps bisa memberikan data peta secara akurat (but not in Jakarta!).

Namun, sayangnya, dari ketiga faktor di atas... penetrasi layanan telekomunikasi yang rendah dan last mile yang mahal di Indonesia justru terjadi. Solusinya: wireless. Konon, biaya untuk implementasi wireline memerlukan biaya US$1,000 per ss, sedangkan wireless jauh lebih murah. Dalam wireless bisa mencapai US$100, bahkan kurang (dengan solusi dari Cina?... ha!). Tidak ada investor gila yang mau menanam uang sebesar US1,000 kalau bisa melakukannya dengan fraksi dari angka tersebut.

3G (atau 4G) Sebagai Harapan

3G (atau 4G) menjanjikan satu hal: affordable broadband at the last mile...! Suatu hal yang didamba-dambakan. Sayang-nya, belom apa-apa.... pemerintah sudah memberikan beban yang berat dalam upfront fee 3G di Indonesia. Heran... Padahal di Jepang, negara yang kaya itu, pemerintah nya tidak mengenakan upfront fee. Operator di sana baru membayar lisensi frekuensi setelah ada pelanggan yang aktif. Metode ini disebut dengan merit-based, atau pay as you grow. Dan satu hal lagi masukan untuk pemerintah:

"Belum pernah ada operator 3G yang berhasil, hanya dengan memiliki lebar spektrum sebesar 5 Mhz"

NTT Docomo dan operator 3G lain di Jepang mendapat 20 Mhz, tiap operator di Korea mendapat 20 Mhz, Malaysia menjatah 15 Mhz, dan lain-lain. Bahkan dalam percobaan 4G, Docomo menggunakan 100 Mhz untuk downstream dan 40 Mhz untuk upstream. Hasilnya? Throughput sebesar 1 Gbps.

Tidak lama lagi, saya mengestimasi adanya High Defintion Screen untuk layar handphone (Btw, Nokia N93 sudah bisa merekam dengan 30 FPS). Sehingga streaming sudah akan menjadi sangat biasa di masa depan. Nah, dengan implementasi 3G dan 4G yang affordable to the masses, maka perubahan kultur pun akan terjadi, dimana informasi menjadi abundance (bayangkan, kita melakukan searching di Wikipedia menggunakan handset atau PDA). Kegagalan 3G di negara-negara Eropa, menurut pendapat saya adalah karena mereka berfokus pada teknologi dan bukan manusia (antropologi). Sedangkan Jepang, seperti Docomo berpusat pada manusia dan bukan teknologi (Docomo menggunakan teknologi proprietary berbasis CDMA). Hal ini dibuktikan dengan berbagai content dan aplikasi yang sangat Jepang, seperti animasi, kemudahan dalam huruf kanji, dan lain-lain. Saya percaya bahwa broadband dan ketersediaan informasi (baca: content) lah yang akan menjadi key driver dalam pengembangan kultur di masa depan dan saya ingin melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini. Bergabunglah bersama saya untuk mewujudkannya..!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home