equest72 Blog

Tuesday, July 17, 2007

Pentingnya Valuasi (bag. 2)

Kita lanjut lagi yang kemarin.

Saya melakukan pengecekan atas saham Google, Inc. Pada saat ini harga saham GOOG dilego pada kisaran $552 per lembarnya. Berdasarkan Annual Report Google didapat EPS sebesar $9,94 per lembarnya, maka PER-nya: 55,55. Saya melakukan cross checking dengan Google Finance), dari sana (menurut perhitungan Google Finance), PER saham berkode GOOG adalah 49,49.

Ada perbedaan dikit, tetapi kita lihat bahwa PER-nya sekitaran 50. Artinya adalah begini:

Bila perusahaan ini selama tahun-tahun berikutnya memiliki laba bersih (earning) yang sama setiap tahunnya dan membagikan seluruh earning yang didapatnya, maka seorang pemegang sahamnya baru akan mencapai break even point dalam waktu 50 tahun

As simple as that.

Sekarang, perusahaan AGIS (kode: TMPI) di BEJ dengan PER-nya yang mencapai 242, bila skenario di atas berlaku, maka pemilik saham TMPI baru akan mendapatkan full return atas saham yang dibelinya dalam jangka waktu 242 tahun... cappe deh. Hidup, mati, hidup lagi, mati lagi, baru BEP...

Kembali ke saham BTEL, maka analis yang mengatakan bahwa harga saham BTEL masih murah hanya melihat dari harganya (yaitu Rp. 425 per lembar) dan tidak melihat valuasi fundamentalnya. Jangan salah sangka ya, tidak ada niatan untuk menjelekkan perusahaan mana pun, tetapi yang ingin diterangkan di sini adalah bahwa murah / mahalnya sebuah saham terletak pada valuasinya, bukan pada nilai rupiahnya.

Sebagai contoh, harga saham International Nickel (INCO) dilego pada harga Rp. 53.700, dengan PER 6,42. I would rather buy this stock, rather than GOOG. Saya cinta Google, saya menggunakan produknya: Gmail, Gtalk, Blogger dan mungkin suatu hari Orkut. Tetapi pada PER 50-an, saya lebih memilih untuk membeli INCO.

Pelajaran dari saham MSFT menunjukkan bahwa Price-to-Earning Ratio (PER) pada nilai di atas 40 menunjukkan bahwa saham tersebut telah mencapai over value (saat ini harga saham MSFT dijual dengan PER sekitar 20-an).

Pelajaran dari Warren Buffet (buku Warren Buffett Wealth, halaman 130):

It's better to buy a wonderful business at a fair price than to buy a fair business at a wonderful price

Sebagai contoh, pada tahun 1989 Warren membeli saham Coca-Cola dengan data-data sbb:
  1. Harga saham = $6,50.
  2. Price-to-Book Value (PBV) Ratio = 5,5.
  3. Price-to-Earning Ratio (PER) = 15,5.

Warren mencapai full return atas saham Coca-Cola dalam waktu 9 tahun dan nilai buku (Book Value) nya naik tiga kali lipat dalam jangka waktu itu.

Dalam kasus di Bursa Efek Jakarta, saya melihat satu saham yang menarik (saya tidak akan sebutkan nama perusahaannya), hanya saja menurut perhitungan saya, harga sahamnya masih terlalu tinggi. Data-data perusahaan tersebut sbb:
  • PER: 27,72 (penutupan Desember 2006).
  • Price-to-Sales Ratio (PSR): 7,91 (Desember 2006).
  • Nilai pasar: Rp. 52,5 Triliun (Desember 2006).
  • PBV: sekitar 7 (Juni 2007).

Namun perusahan ini memiliki ciri-ciri yang baik seperti Dividend Payout: 50%, pemimpin dalam industrinya, memiliki visi yang bagus, kontrak penjualan long-term. Hanya saja, ya itu... harganya masih kurang pas. Saya membaca analisa dari MacQuairie Securities yang dimuat di Bisnis Indonesia dan setuju dengan analisa itu: bila sahamnya di bawah Rp. 9.000 per lembarnya, then I will start buying.

Menariknya, sejak saya observasi dari bulan April 2007, harga saham perusahaan ini terus turun dan mulai mendekati nilai Rp. 9.000 per lembarnya (nilai pasarnya sudah turun ke sekitar 40 T).
:-)

Pelajaran yang dipetik (saya ambil dari buku The Future of Investors, Jeremy J. Siegel):
  1. Valuations are Critical.
  2. Never Fall in Love with Your Stocks.
  3. Avoid Triple Digit PER.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home