equest72 Blog

Thursday, November 16, 2006

Primasel-WIN bergabung

Bisnis Indonesia, 3 November 2006 memuat berita dimana WIN (Wireless Indonesia Network) akhirnya bergabung dengan Primasel. Keduanya adalah operator yang mendapat lisensi frekuensi 3G berbasis CDMA2000 1X. Dengan bergabungnya kedua perusahaan ini, dugaan saya bahwa biaya lisensi frekuensi yang dikenakan sangat memberatkan operator nampaknya mulai terwujud.

Selain itu, capex yang diperlukan untuk membangun infrastruktur 3G sangat besar sehingga kedua operator ini tidak sanggup membangunnya sendiri. Sebagai gambaran saja, untuk tahun 2005, Telkomsel memerlukan capex sebesar Rp. 10 triliun untuk mengembangkan 2G. Sedangkan untuk 3G, Tsel menawar sebesar Rp. 280 miliar untuk frekuensi sebesar 5Mhz.

Seperti teori Prof W. Chan Kim dalam teori Blue Ocean-nya, dimana salah satu alasan Blue Ocean Strategy adalah: apakah pasar cukup mampu untuk menopang terbentuknya kompetisi (tambahnya perusahaan lain dalam bidang industri yang sama). Sebagai contoh: pada saat Bandung Super Mal dibuka di Bandung, maka hampir seketika itu pula Sultan Plaza di Cihampelas ditutup bangkrut. Kemudian, saat di Makassar dibuka Panakkukang Mal, hampir secara instan, Plaza Maricaya ditutup bangkrut.

Mengapa, setelah bertahun2 tidak ada pesaing jaringan Studio 21? Kondisi pasar belum memungkinkan hal ini terjadi dan ini bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Belgia (Kinepolis, adalah model teater seperti Studio 21, tanpa pesaing). Jumlah operator di Jepang dan Korea hanya 3 ... dan 3G berhasil di sana? Does it ring anything? Sebaliknya di Indonesia kita punya:
  1. TelkomSel - GSM & WCDMA/UMTS
  2. Indosat (dan Satelindo) GSM & WCDMA/UMTS
  3. XL - GSM & WCDMA/UMTS
  4. StarOne - CDMA
  5. TelkomFlexi - CDMA
  6. Mobile8 - CDMA
  7. Esia (B-Tel) - CDMA
  8. Ceria (Grup Sampoerna) - CDMA
  9. Natrindo Maxis - WCDMA/UMTS
  10. CAC Hutchison - WCDMA/UMTS
  11. Primasel WIN - CDMA
Argumen saya adalah: Salah satu atau salah dua, salah tiga atau lebih dari perusahaan di atas akan bangkrut atau dibeli perusahaan lain, karena apa iya, pasarnya ya segitu-gitu aja (200 juta penduduk Indonesia) bisa menyerap semuanya? Kita perhatikan saja, bahwa Natrindo, CAC Hutchison dan Primasel WIN belum beroperasi secara komersial meskipun sudah sekitar 2 tahun lalu mendapatkan lisensi frekuensi.

Pemerintah seharusnya tidak mencari uang dengan semata mendapatkan up front fee dari lisensi frekuensi, tetapi harus melihatnya secara makro ekonomi. Bila infrastruktur telekomunikasi di Indonesia bisa dibangun dengan baik, maka secara makro, akan meningkatkan teledensitas dan pada akhirnya akan memberikan keuntungan secara nasional bagi negara ini.

Mengapa kah di Jepang, tidak ada up front fee, padahal negaranya kaya? Operator baru membayar penggunaan frekuensi seiring dengan bertambahnya jumlah pelanggan. Model ini dikenal dengan istilah merit based. Dengan metode ini, operator tidak dibebankan biaya di muka dan bisa mengkonsentrasikan capex-nya untuk membangun infrastruktur terlebih dahulu.

Selamatkan triji di Indonesia..!

See others:
To 3G or Not to 3G

0 Comments:

Post a Comment

<< Home