Indeks dan Efek Januari
Well, tiga minggu pertama bulan Januari pada tahun 2006 dan 2007 ini memiliki kondisi yang menarik untuk dikaji.
Dua tahun terakhir ini (2006 dan 2007) bisa dikatakan bawah para investor lokal di Bursa Efek Jakarta mendapat cukup banyak pelajaran. Pada tiap bulan Januari, biasanya ada Efek Januari, yaitu situasi dimana para fund manager dan pemilik saham menjual share nya, sehingga menimbulkan penurunan harga.
Sebenarnya, saya jg agak bingung... kalau saham perusahaan yang dibeli si fund manager dan investor tersebut bagus, mengapa dijual? Katanya karena pada Bulan Desember terjadi window dressing, yaitu ada upaya dari emiten untuk memperbaiki harga sahamnya. Tapi ini juga sebenarnya aneh. Kalau memang perusahaan tersebut memiliki potensi yang bagus, ngapain juga melakukan cosmetic make over?
Tapi oke lah... kita liat pada Januari 2007, sempat terjadi penurunan indeks komposit (IHSG) yang signifikan yang disebabkan oleh
pertama, sentimen negatif yang terjadi di Thailand, dimana diberlakukan pembatasan kepemilikan asing dan kedua, sentimen negatif karena turunnya nilai saham PGN secara drastis (lebih dari 20% dalam satu hari), yang diduga terjadi salah informasi yang diberikan oleh manajemen PGN, yang berkenaan dengan proyek pipa gas SSWJ. Kemudian, sentimen negatif ini menyeret saham lainnya. Pada hari berikutnya, manajemen PGN sudah melakukan klarifikasi mengenai proyek SSWJ ini, bahka menginformasikan bahwa walaupun terjadi kelambatan dalam pekerjaan pipanisasi SSW, pendapatan PGN diprediksi naik 64% dari 132% proyeksi sebelumnya (not bad, juga sebenarnya). Berbeda dengan 2 minggu pertama Januari 2007, pada tahun 2006, tampaknya tidak terjadi Efek Januari, indeks terus saja meningkat. Tampaknya, para investor lokal mulai belajar bahwa perusahaan dengan valuasi di bawah nilai wajarnya (fair value) selalu layak untuk dibeli.
Pada intinya, dari berbagai literatur yg saya pelajari sentimen pasar sering tidak sejalan dengan nilai wajar sebuah perusahaan. Pada saat harga saham sebuah perusahaan di bawah fair value nya, sering sekali investor menjadi ragu untuk membeli saham tersebut, takut harganya akan semakin turun. Tetapi pada saat harga saham nya sudah naik (bahkan melebihi) fair value, si investor tetap tidak membelinya (sambil menyesal) karena tahu bahwa nilai saham perusahaan tersebut sudah ketinggian.
Tampaknya, salah satu tujuan dari penurunan nilai saham memiliki fungsi penyaringan juga, dimana investor long run saja yang akan bertahan, sedangkan investor short run akan segera ikutan menjual portofilionya. Dan kembali ke temuan Prof. Jeremy Siegel dalam bukunya Stocks for the Long Run dan The Future of Investors bahwa tidak ada investasi di dalam saham, dalam jangka waktu 20 tahun, yang gagal menciptakan uang.
Untuk selanjutnya, kita tunggu sampai akhir Januari ini...
:-)
Blog yang berhubungan:
Investasi di saham
Labels: Finansial Investasi
0 Comments:
Post a Comment
<< Home