equest72 Blog

Saturday, September 30, 2006

Protokol Zion dan G30S PKI

Dikatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat sejarahnya. Namun selama lebih dari 30 tahun, Bangsa Indonesia tidak pernah mendapatkan cerita yang sesungguhnya tentang pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 dan misteri Supersemar. Buku Putih yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak memberikan kepuasan kepada publik dan harapan terakhir sejarah ini yang bertumpu kepada Jend. M. Yusuf pupus sudah dengan kepulangannya kepada Sang Khalik.

Dalam sejarah, dimungkinkan munculnya berbagai versi penulisan peristiwa, tergantung siapa yang menulis dan untuk apa. Sebagai contoh adalah sebuah cerita yang sudah sangat lama berkembang tentang ‘Konspirasi Yahudi Internasional’ untuk menguasai dunia. Diperlukan waktu puluhan tahun untuk pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dokumen tersebut palsu dan bahwa konspirasi yang dimaksud tidak pernah ada.

Penulisan sejarah yang sebenar-benarnya adalah ditujukan bukan saja untuk mendapatkan cerita yang sesungguhnya, namun juga agar kita dapat mengambil pelajaran darinya. Pak Harto adalah tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa G30S PKI, mencapai puncak kekuasaan, namun melupakan sejarah mengapa ia mencapai puncak kekuasannya, hingga akhirnya ia pun diturunkan dengan cara yang kurang lebih sama dengan cara ia mendapatkan kekuasannya. Tampaknya Pak Harto tidak belajar dari pengalamannya.

Dalam hal kasus Protokol Zion, dimana diceritakan bahwa sekelompok tetua (elders), yang berkumpul pada tahun 1897 mengeluarkan dokumen protokol dalam rangka upaya untuk menguasai dunia. Dokumen ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Rusia sebagai dokumen palsu (hasil penjiplakan) yang dibuat oleh Mathieu Golovinsky. Tuan Golovinsky menggunakan tulisan yang terbit lebih dari 40 tahun sebelumnya, ditulis oleh Maurice Joly dengan tujuan untuk menyindir Napoleon III sebagai Sang Pangeran yang kejam dalam buku Machiavelli, Il Principe. Betul, bahwa pada tahun itu, berkumpul sejumlah orang Yahudi, namun dengan tujuan untuk mendirikan sebuah negara bagi bangsa Yahudi yang saat itu terserak. Banyaknya kalimat yang memiiki pengertian sama dalam buku Tuan Joly dan Tuan Golovinsky memberikan keyakinan bahwa telah terjadi penjiplakan.

Pemerintah Rusia bahkan melakukan tindakan yang terpuji dengan mengumpulkan berbagai ahli sejarah independen untuk melakukan penelitan dan pada akhirnya mengeluarkan sertifikat bahwa dokumen The Protocols of The Learned Elders of Zion adalah palsu. Bayangkan, sebuah pemerintahan berbasis komunis saja bisa melakukan hal tersebut. Seharusnya, negara yang berbasis Pancasila pun dapat melakukannya!
Banyaknya pertanyaan seputar G30S dan Supersemar, seperti: (1) Apakah Bung Karno mengetahui adanya rencana pemberontakan, (2) Penyiksaan para jenderal, benarkah terjadi? (3) Keberadaan dokumen asli Supersemar, (4) Munculnya istilah Orde Baru, dan lainnya, semua ini sangat-sangat perlu untuk dijawab.

Saya bukan ahli sejarah, namun adalah menarik bagaimana Pak Harto mengorbitkan istilah Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama (yang disetarakan dengan penyelewengan dan hal negatif lain), karena istilah ini, sesungguhnya sudah lama dipakai. Dalam lembar Satu Dollar Amerika Serikat, ada kalimat tertulis dalam bahasa Latin: Novus Ordo Seclorum, yang bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris: New Order of the Ages, atau Tatanan Orde Baru…! Saya tidak yakin bahwa Pak Harto begitu saja, from thin air, menggunakan istilah Orde Baru. Adalah suatu hal yang mungkin, bahwa ide ini didapatnya dari orang lain (ingat, bahwa ini hanya dugaan).

Dalam acara metro TV, KickAndy pernah ditayangkan cerita tentang keganasan peristiwa G30S. Dimana pada saat itu, sudah kurang jelas lagi mana musuh mana kawan. Seorang eksekutor bernama Rauf (lihat foto, mengenakan topeng), bahkan bercerita menembak mati pamannya sendiri. Pembunuhan massal sebagaimana kita dengar memang terjadi pada saat itu, namun tidak pernah ada klarifikasi yang jelas hingga detik ini.

Saat ini, kita hanya bisa berharap bahwa Pemerintah Indonesia dapat meluruskan penulisan sejarah G30S PKI agar kita yang ingin menjadi bangsa yang besar, mengetahui kebenaran tentang peristiwa itu. Saya pun yakin, bahwa bila cerita yg sebenarnya sudah dinyatakan, tetap saja ada yang mencoba ‘utak-atik’ fakta, seperti Michael Baigent, Richard Leigh dan Dan Brown.

Tulisan ini ditujukan untuk mengingat dan merenungkan peristiwa G30S PKI.

Mahalnya SMS

Iseng-iseng saya melakukan penelitian ini:

Dengan menggunakan notebook Thinkpad, pcmcia-based datacard AirCard 555 dan akses nirkabel CDMA ke Internet, saya mengirim (1) 160 karakter dan (2) 1.000 karakter (termasuk spasi) menggunakan instant messaging (Yahoo!Messenger) ke diri sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur berapa byte yang diperlukan untuk mengirim sejumlah karakter ini. Mengapa jumlahnya cuma seribu? Simply, karena itu lah jumlah maksimum di dalam Yahoo!Messenger... :-D

Hasilnya?
1) Untuk 160 karakter
Diperlukan: 1,36 KByte.

2) Untuk 1.000 Karakter
Diperlukan: 2,76 KByte.

Dengan demikian, menggunakan asumsi biaya komunikasi data CDMA sebesar Rp. 3 / KByte, maka biaya untuk mengirim:
(1) 160 karakter setara dengan Rp. 6,-.
(2) 1.000 karakter = Rp. 9,-.

Pada sisi lain, bila saya mengirim SMS sebanyak 1.000 karakter, dipecah menjadi 7 bagian (1.000 / 160 = 6,25 dibulatkan menjadi 7), setara dengan Rp. 1.750,- (Rp. 250 x 7).

Sangat dipahami mengapa operator nirkabel kebat-kebit melihat tren ini.

Mengembangkan 3G yang Kultural

Kita dan Kegiatan Kita

Salah satu kunci keberhasilan Starbucks, menurut pendapat saya adalah kemampuannya membangun kultur. Howard Schultz melihat bahwa Starbucks bisa menjadi Tempat Ketiga (Rumah, Kantor dan Starbucks) bagi publik. Dulu, saya sering ke Hard Rock Cafe dan sejenisnya. Sekarang, sudah enggak pernah lagi... mungkin karena faktor usia juga. Sudah agak risih dan tidak nyaman masuk ke diskotik, penuh asap dan musik hingar-bingar. Tapi, nongkrong di coffee house, terasa lebih nyaman, bisa ngobrol sama teman, atau sekedar merenung (saya malah pernah begadang di Starbucks hingga jam 1 pagi menyelesaikan pekerjaan kantor).

Sebagaimana digambarkan oleh Prof. W. Chan Kim, tentang Blue Ocean Strategy, ada tiga aktivitas besar manusia:

  1. Saat ke kantor (dalam perjalanan, tele commuting).
  2. Saat di kantor (melakukan pekerjaan).
  3. Saat tidak di kantor (saat tidak bekerja, leisuring).
Jadi, usulan dari Pak Kim adalah membuat layanan atau produk untuk mengisi di ketiga jenis kegiatan tersebut. Transportasi (dan aktivitas di dalamnya), aplikasi Office, dan hiburan. Sebagai contoh:

  • Selama dalam perjalanan ke kantor, bisa mendengarkan musik atau membaca berita pagi itu.
  • Di kantor, mengefisienkan pekerjaan dengan collaborative tools, seperti Lotus Notes dan tukar menukar data menggunakan instant messaging.
  • Dalam perjalanan pulang, mengisi waktu dengan main game.
Layanan 3G memiliki peluang untuk semua ini. Dengan teknologi spektrum tersebar dan bandwidth yang cukup, maka bisa didapat throughput yang dapat digunakan untuk keperluan seperti: membaca berita koran via PDA, bermain game dengan teman, sekedar chatting menggunakan instant messaging (mengingat bahwa SMS mahal) atau bahkan Wiki Wireless, dlsb. Saya berpendapat bahwa kunci keberhasilan implementasi 3G bukan pada teknologi, tetapi pada manusia (yang membayar jasa penggunaan). Oleh karena itu disebut kultur.


Membangun 3G yang Kultural

NTT Docomo menjadi operator 3G yang berhasil menggunakan teknologi yang tertutup (proprietary), walau pun dibangun di atas teknologi spektrum tersebar juga. Kemudian hal yang sama juga terjadi di SK Tel dengan layanan Nate untuk bisa meng-upload foto langsung ke web presence Cyworld, dimana seseorang bisa membangun citra diri dan dunianya sendiri. Cyworld bahkan menjual dottori, semacam obyek virtual seperti kulkas, sofa, televisi dan lain-lain sehingga orang yang terdaftar di dalam Cyworld bisa mengisi mendandani 'rumah virtual'-nya. Kita mengetahui bahwa huruf Jepang, Korea dan China yang bersifat khas, maka content yang menggunakan huruf-huruf ini sangat laku di negara asalnya (makanya saya tertarik untuk menjadi kontributor di Indo Wikipedia). Flickr (sebuah aplikasi berbasis Ajax dan sudah dibeli oleh Yahoo!) baru-baru ini bekerja sama dengan Nokia untuk memberikan layanan seperti Cyworld.

Saat ini, di beberapa negara sudah dirilis notebook yang dilengkapi langsung dengan kemampuan 3G. Dengan mengikat notebook dengan layanan 3G maka terbuka peluang untuk layanan Location-based Service (LBS). Sudah bisa dibayangkan, menggunakan maps.google.com, kita bisa mengetahui posisi kita saat ini, dan bila kita hendak menuju ke satu tempat, maka dari notebook tsb, kita bisa melihat suggested route.

Salah satu kegagalan implementasi 3G sebagaimana dijelaskan oleh Andrew Odlyzko, "Talk, Talk, Talk: So who needs streaming video on a phone? The killer app for 3G may turn out to - suprise- voice calls" (Forbes, 20 Agustus 2001):

But the story may have an accidentally happy ending. The unanticipatedkiller application of 3G is likely to be voice, the killer app of first-and second-generation systems. This will please both investors andthose eager to see effective competition to the local phone monopolies.

3G was sold by its promoters as a way to provide mobile Internet access.But the market has figured out that not only will streaming video not befeasible with 3G, it is doubtful whether it would bring in much revenueeven if it could be offered.

People don't want to be entertained by their cell phones. They want tobe connected. Note the success of simple text messaging and the failureof content-providing Wireless Access Protocol. The good news is that3G's higher bandwidth can be used to make room for more calls and maybemake those connections more reliable.


Salah satu alasan mengapa ada sedikit content pada tahun 2001 adalah karena computing power, storage dan dunia komunikasi belum segila sekarang... Bisa dibayangkan MySpace wireless, dimana pada saat ini ada lebih dari 100 juta friends yang mendaftar di MySpace (MySpace telah menghasilkan trafik melebihi Google). Begitu ada trafik, maka uang pun bisa mengalir (walau pun tidak selalu, but they'll figure it out soon). Dengan harga storage yang terus turun, MySpace dapat terus menawarkan layanan ini secara gratis. Dan jika Gmail menawarkan kapasitas hingga 1GByte, free email; Cyworld menawarkan unlimited storage untuk penggunanya.

Sony PSP dan iPod Video menghasilkan layar yang demikian cerlangnya sehingga sangat mungkin bahwa teknologi layar ini akan diekspor ke layar handphone. Kemampuan stereo dan kualitas earbud juga sudah sedemikian tingginya sehingga mendengarkan musik, menonton film (seperti dalam PSP) juga memberikan hasil yang memuaskan. iTunes, sebagai marketplace untuk iPod menjadi fenomena, karena biaya penyimpanan untuk sebuah lagu mp3, baik di-download seribu kali atau sepuluh kali adalah sama.

Beragamnya content diperlukan dalam membangun 3G yang kultural (Docomo, sebagai contoh memiliki lebih dari 4.000 content; info saya dapat dari acara CommunicAsia bulan Juni yang lalu). Mengapa? Karena kita tidak tahu apa isi hati orang, sehingga salah satu caranya adalah dengan memberikan pilihan sebanyak yang bisa kita lakukan. Hal ini lah yang ditakutkan oleh perusahaan-perusahaan media pada saat ini, karena perusahaan media (seperti televisi, radio dan koran) memiliki kedudukan sebagai filter. Namun di era kelimpahan (akses dan konten) maka pasar akan terpecah menjadi micro niche. Dan search engine sebagai filter di era kelimpahan ini adalah publik (seperti Komunitas Pro-Am). Web blogs, rekomendasi (seperti di Amazon.com), URL links (macam del.icio.us), digital social networking (seperti Dodgeball), community journalism (seperti Oh! My News, digg) adalah kunci dari era ini. Filter informasi yang dulunya dimonopoli oleh perusahaan media raksasa saat ini telah beralih tangan. Inilah The Long Tail dalam dunia media informasi.

Nah, dengan layanan 3G yang berkualitas, dimana akses nirkabel sudah ubiquitous dan content sudah berlimpah, maka terbukalah kotak pandora dalam industri media ini. Bagaimana cara operator 3G bisa berhasil dalam era ini? Salah satunya, menurut pendapat saya adalah dengan membangun Komunitas Pro-Am (kelompok amatir adalah kelompok orang yang bersedia menjadi pelanggan). Contoh: Joga, yang adalah sebuah situs yang dikembangkan oleh Nike untuk pengguna sepatu Nike dan berhasil menarik 1 juta pendaftar hingga Juli 2006 (Tak Lagi Sekedar Menarik Perhatian, BusinessWeek, 2-9 Agustus, halaman 30-33). Salah satu keuntungan di era kultur berbasis clickstream dapat diamati secara real time. Dengan mengembangkan Komunitas Pro-Am, sesungguhnya operator bisa mendapatkan feedback dari pasar secara cepat dan efisien (untuk kemudian mengambil keuntungan dari informasi feedback ini).

3G hanyalah akses, tanpa ada isi yang menarik minat publik, saya yakin sulit untuk berhasil. Sebagai perbandingan, layanan yang paling sukses dalam dunia nirkabel pada saat ini justru tidak memerlukan 3G sama sekali (misal: M-Banking, ring back tone dan SMS). Oleh karena itu, operator 3G harus mulai sekarang bergaul erat dengan pelanggan, calon pelanggan bahkan dengan orang yang ogah menggunakan layanan nya (sebagaimana saran dalam Blue Ocean Strategy). Dalam argumen nya, Chris Anderson mengatakan bahwa untuk bisa berhasil di dalam ekonomi Long Tail, maka informasi harus tersedia mulai dari main stream hingga micro niche. Saya rasa, ada benarnya juga pendapat itu.

Investasi di Saham

Salah satu tulisan saya menjadi finalis (kemudian dibukukan) dalam Trimegah Writing Contest 2006 dan selanjutnya ada beberapa email yang masuk ke Gmail saya. Pertanyaan mereka cukup simpel: (1) Apakah aman berinvetasi di saham, (2) Kapan saya masuk ke pasar, untuk berinvestasi.

Saya ingin menjawab kedua pertanyaan tersebut.

(1) Saya ingin mengutip dari buku The Future of Investors (Jeremy Siegel, halaman 172):


Stocks on the other hand, are claims on real assets, such as property, machines, factories, and ideas. The behavior of equity returns confirm that over long periods of time, stocks fully incorporate realized inflation, while bonds, by their very nature, cannot.

Saya harap kutipan ini menjawab pertanyaan pertama. Dari pengamatan oleh Jeremy Siegel diperoleh gambaran sebagai berikut:

Selama periode 200 tahun (1801-2001) US$1 yang diinvestasikan:

  • Dalam saham, menjadi: US$ 597.485.
  • Dalam treasury bonds (seperti SUN): US$ 1.072 (Treasury bond, adalah investasi jangka menengah dan panjang).
  • Dalam treasury bill: US$ 301 (Treasury bill adalah investasi jangka pendek, 6 - 12 bulan).
  • Dalam emas, menjadi: US$ 1,39.
  • Dalam US Dollar, menjadi: 7 sen.

(2) Tidak perlu melakukan timing. Yang penting adalah bertahan di dalam pasar selama mungkin. Besaran resiko yang diukur berdasarkan variansi oleh Jeremy Siegel ditemukan bahwa semakin lama stay in the market untuk saham, nilai resikonya semakin kecil.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Robert Goodman, mencoba melihat atas tiga orang. Yang pertama, selalu beruntung dengan membeli saham pada harga paling rendah, setiap tahunnya. Yang kedua, selalu membeli pada saat harga paling tinggi, sedangkan yang ketiga, tidak pernah melakukan timing, hanya membeli saja setiap tahunnya. Dimulai pada tahun 1960, tiap orang membeli dengan modal awal sebesar US$3.000. Ini hasil yang didapat pada tahun 1996:

- Orang Pertama, investasinya tumbuh menjadi: US$ 1.569.519.
- Orang Kedua menjadi: US$ 1.318.300.
- Orang Ketiga menjadi: US$ 1.418.037.

Dengan usaha yang demikian besar untuk melakukan timing, ternyata perbedaan yang terjadi dengan orang yang tidak melakukan, hanya sedikit saja.

Saya berterima kasih kepada Trimegah Securities yang memberikan hadial TRIM Kapital sebesar Rp. 10 juta (TRIM Kapital adalah reksadana yang diinvestasikan dalam saham). Pada tanggal 8 Maret 2006, dengan nilai sebesar Rp. 10 juta dan nilai aktiva bersih (NAB) per unit nya adalah Rp. 2.031,22 saya mendapat 4.932,1516 unit. Dan saya berniat untuk membuktikan teori ini, sehingga saya tidak menjual reksadana saya ini.

Pada tanggal 28 September NAB / unit = Rp. 2.748, 79 atau setara dengan Rp. 13.532.710,-. (4.932,1516 x Rp. 2.748,79). Tidak buruk, bukan?

Berdasarkan observasi statistik saya yang dimulai pada tanggal 9 Desember 2004, inilah hasilnya hingga 28 September 2006 (hampir dua tahun waktu pengamatan):

  1. IHSG, naik: 59,14% (IHSG merefleksikan nilai rata-rata saham di BEJ).
  2. TRIM Kapital, naik: 115,68% (reksadana saham dari Trimegah Securities).
  3. Manulife Dana Saham, naik: 84,28% (reksadana saham dari Manulife).

Pertanyaan balik lagi: kira-kira apakah harga saham akan terus naik? Jawabannya: lihat Jawaban 1...!

Salam.

Komunitas Pro-Am

Komunitas gabungan antara para professional dan amatir. Kedengarannya biasa aja. Tapi, setelah saya mencoba melihat-lihat di Wikipedia dan Fotografer.net (disingkat FN), saya jadi terkesima. Begitu kuatnya komunitas yang dibangun oleh kedua kutub ini. Pada akhirnya, saya yakin bahwa komunitas ini lah yang akan membentuk dunia di masa depan.

Munculnya komunitas Pro-Am tidaklah akan menjadi sehebat sekarang tanpa adanya Internet, dimana komunikasi menjadi sangat efisien, walau pun tidak ada pertemuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Chris Anderson, bahwa supernova yang terjadi pada tahun 1987, diamati dan dikonfirmasi oleh profesional dan amatir di bidang astronomi, di belahan dunia yang betul-betul terpisah... Temuan-temuan mereka mengkonfirmasi bahwa telah terjadi supernova pada 168.000 tahun yang lalu (saya sendiri sudah mencoba membuat artikel di Wikipedia: spektrum tersebar).

Sebagai fotografer yang baru memulai, saya masih perlu belajar banyak, setelah diperlihatkan oleh seorang teman, maka saya ikut mendaftar di FN. Dari sana, saya belajar banyak tentang dunia fotografi (yang ternyata menyenangkan juga..!). Saat ini, saya sedang menabung untuk bisa memiliki lensa ultra wide untuk keperluan fotografi.

Lahirnya komunitas Pro-Am jelas didorong oleh: Pesatnya perkembangan computing power, storage dan Internet. Apple Computer, seingat saya, dulunya tidak pernah menjual Mac di bawah harga US$3,000 (karena dari dulu mau beli, tapi gak bisa... kemahalan). Sekarang: iMac 20 inch, Intel Core Duo dilego seharga US$1,300. Dengan software Aperture, maka photo editing menjadi lebih asyik.

Saya melihat bahwa perkembangan komunitas ini akan semakin banyak dengan ikatan di antara mereka yang sangat kuat. Feedback yang real time dari kedua pihak ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan oleh para marketer untuk memberikan solusi yang benar-benar diinginkan oleh publik.

Friday, September 29, 2006

Pilot Pollution

Gangguan Pilot Pollution akan muncul dalam jaringan spektrum tersebar (spread spectrum) karena pada dasarnya, dalam teknologi spektrum tersebar setiap sektor di dalam sel menggunakan frekuensi yang sama (sebagai perbandingan dalam GSM, setiap sektor memiliki frekuensi yang berbeda).

Dalam satu sel, ada tiga sektor yang disebut dengan Alpha, Beta, Gamma (hal yang sama juga di dalam GSM), lihat ilustrasi kiri. Untuk bisa membedakan antara satu sektor dengan sektor yang lainnya, maka tiap sektor memiliki Pseudorandom Number (PN) Code. PN inilah yang akan menggunakan pendekatan matematis yang disebut sebagai konvolusi untuk memberikan layanan bagi Mobile Station (MS) yang masuk dalam cakupannya. Sel akan mencari MS dengan nilai konvolusi yang terbaik (yang paling mendekati nilai ideal, yaitu 1).

Karena tiap sel memiliki frekuensi yang sama, maka kunci dari spektrum tersebar adalah manajemen frekuensi, yang diberi notasi Ec/Io, dimana Ec adalah Energi Pilot dari satu sektor dan Io adalah energi total yang diterima oleh satu Mobile Station. Standar nilai Ec/Io adalah dibawah -16 dBm (-4 dBm lebih baik daripada -10 dBm). Bila seorang pelanggan bergerak menjauhi sebuah sektor, maka nilai Ec/Io dan konvolusinya dengan sektor tersebut akan memburuk, maka sektor tsb akan memutuskan untuk melakukan hand off (atau hand-over) ke sektor lain (bisa intra-sel, bisa ekstra-sel). Dalam ilustrasi kanan, sebuah MS mendapat sinyal dari dua sektor (PN=248 dan PN=46), dan berdasarkan pendekatan matematis konvolusi, MS dilayani oleh PN=46.

Pilot Pollution akan terjadi, bila satu MS menerima 3 atau lebih PN yang aktif. Mengenai mengapa hal ini bisa terjadi, di luar cakupan dari tulisan ini (mungkin klo sempet saya tulis lagi). Pada intinya, bila terdapat lebih dari 3 PN yang aktif, maka MS akan kebingungan, siapa sebenarnya yang melayani dia. Ini seperti seorang nasabah yang masuk ke bank mendapati ada lebih dari 3 kasir, dan tidak ada kejelasan kasir mana yang lebih dominan untuk memberikan pelayanan kepadanya (makanya ada nomor antrian). Solusi untuk masalah ini mencakup manajemen PN dan rekayasa RF.

Wednesday, September 27, 2006

Cell Breathing dalam Jaringan Spread Spectrum

Seperti yang sudah saya duga, bahwa implementasi 3G akan menimbulkan beberapa masalah yang disebabkan oleh Radio Frequency engineering, salah satunya adalah Cell Breathing. Cell Breathing terjadi karena terjadi okupansi yang cukup tinggi sehingga kemampuan BTS untuk melayani pengguna layanan (biasa sebut Mobile Station, disingkat MS) menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti seorang penjual yang melayani banyak pembeli di pasar. Saat hanya satu-dua pelanggan yang berteriak melakukan penawaran harga, maka si penjual dapat mendengar suara-suara dari si pelanggan ini.

Namun saat jumlah calon pembeli terus bertambah, maka dengan kemampuan pendengarannya yang terbatas, maka kemampuan si penjual untuk 'mendengarkan' suara-suara penawaran pun menjadi berkurang. Si penjual tidak menjadi tuli, lho... tetapi dengan terpaksa dia hanya melayani suara calon penjual yang bisa didengarnya dengan lebih baik. Hal yang sama terjadi juga dengan air interface dalam teknologi spread spectrum (seperti CDMA). Secara matematis, dalam teknologi spread spectrum dikenal istilah konvolusi (Ingat pelajaran Aljabar Linear; jangan tanya saya tentang pelajaran ini. Nilai saya cuman C). Nilai konvolusi antara BTS dan MS yang ideal adalah 1. Dalam realitas nilai ideal tidak ada, oleh kareana itu BTS selalu berusaha mencari MS dengan hasil konvolusi yang mendekati angka ideal ini.

Dalam 3G dimana spread spectrum digunakan, pada saat sejumlah orang melakukan video call, maka sejumlah resource (yang disebut Code) dari air interface akan terpakai (berapa jumlahnya, perlu diteliti lagi). Dengan mengambil sejumlah resource ini, maka cell coverage akan berkurang. Semakin banyak MS yang melakukan video call atau heavy traffic lain (tv streaming, misalnya), maka kemampuan sel BTS untuk melayani pelanggan akan berkurang. Dalam impelementasinya, teknologi spread spectrum bersifat pilih kasih. BTS akan memilih MS dengan nilai konvolusi yang terbaik dan melayaninya dengan sepenuh hati (sambil meninggalkan MS lain yang nilainya lebih jelek). Sifat diskriminasi ini ditujukan untuk memberikan layanan optimal bagi MS yang terlebih dulu mendapat resource.

Catatan: Cell breathing terjadi bukan karena daya pancar dari BTS berkurang, simply karena sel harus melayani MS yang nilai konvolusinya lebih baik dibanding dengan MS lainnya. Dalam spread spectrum, tiap sektor dalam sel menggunakan frekuensi yang sama, sehingga kunci dari spread spectrum adalah manajemen interferensi. Pada saat terjadi cell breathing, BTS memilih untuk melayani MS yang memiliki nilai interferensi yang lebih baik.

Tuesday, September 26, 2006

Teknologi VoIP Mendorong Produktivitas Bangsa(?)

Kompas, 6 September 2006, halaman 33, berjudul:

Teknologi VoIP Mendorong Produktivitas Bangsa

Tapi, setelah saya baca, ternyata tidak ada satu pun argumen yang dengan jelas membuktikan kesimpulan tersebut di atas. Produktivitas dihitung berdasarkan jumlah hasil (output). Misal, kaum ibu yang dulunya harus menghabiskan waktu mencuci baju dengan tangan, kemudian menggantinya dengan mesin cuci. Dengan demikian waktu untuk pekerjaan cuci-mencuci menjadi berkurang dan tersedia waktu untuk melakukan pekerjaan yang lain. Pekerjaan yang lain pun harus produktif, karena (menurut pendapat saya) nonton infotainment di televisi sama sekali tidak produktif.

:-)

Cara Terbaik Menghindari Penyakit Kanker dan Serangan Jantung

Sepupu saya, baru saja meninggal dunia. Usianya baru genap 26 tahun pada tanggal 18 Juli yang lalu. Penyebabnya: kanker paru-paru. Ayah saya meninggal pada usia 47 tahun, penyebab: kanker liver. Paman saya meninggal tahun lalu, penyebab: kanker tulang. Saudara yang lain juga meninggal tahun lalu, penyebab: serangan jantung (hanya satu kali terjadi, dan langsung meninggal).

Yang paling menyakitkan dari kematian sepupu saya itu adalah bahwa – pada saat ini – kematian yang disebabkan oleh kanker sebenarnya dapat disembuhkan, namun tentu saja membutuhkan biaya. Keluarga sepupu saya demikian tidak mampunya secara finansial, di mana sudah sangat banyak terlibat hutang, sehingga tidak lagi berani untuk meminjam uang untuk pengobatan anak itu. Kami baru mengetahui sakit-penyakitnya dua minggu yang lalu. Jadi, sejak kami besuk hingga meninggal jaraknya hanya dua minggu.

Radikal Bebas
Kanker dan serangan jantung, adalah dua penyakit yang menjadi penyebab kematian terbanyak saat ini. Ini bukan penyakit menular, seperti flu burung, tetapi penyakit kronis. Diperlukan tahunan bahkan puluhan tahun sampai penyakit ini memiliki wujud seutuhnya di dalam diri kita. Dengan semakin tingginya teknologi dan pengetahuan, maka penyakit infeksi (seperti flu) sudah bisa ditekan, namun muncul penyakit lain, yaitu penyakit degeneratif / kronis. Bibit penyakit kronis sudah ada di dalam diri setiap manusia, yaitu Radikal Bebas. Radikal Bebas lah yang memastikan bahwa tidak ada manusia yang hidup selamanya. Radikal Bebas diproduksi oleh tubuh manusia, oleh alam sekitar (seperti ultra violet) dan yang lebih parah lagi adalah saat ini manusia itu sendiri yang memasukkan Radikal Bebas ke dalam dirinya, misal melalui asap rokok.

Adalah omong kosong, bisa hidup sehat sambil merokok. Titik. Sepupu saya, rajin merokok sejak masih smp, terus hingga kuliah dan baru berhenti pada saat divonis sakit tersebut. Ayah saya selalu merokok dan minum kopi pada sesaat setelah bangun pagi. Paman saya jagoan merokok, dan terserang kanker tulang. Namun ada juga orang yang merokok dan berumur panjang. Ayah dari sepupu saya itu, seorang perokok berat, dan masih hidup sampai sekarang. Tapi dengan harga yg mahal: mengalami penuaan yang cepat, seperti kulit keriput dan gigi coklat, namun masih hidup.Radikal Bebas yang lain adalah berasal dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Pada saat ini hampir tidak ada lagi makanan di Pasar Swalayan yang bukan makanan hasil proses (processed food). Coba sebutkan: susu, sereal, soft drink, sirup, roti, sosis, cracker, snack, kentang goreng bahkan sayur-mayur pun sudah merupakan hasil proses, tidak lagi alami. Setiap makanan yang kita konsumsi ini menambah jumlah Radikal Bebas ke dalam tubuh, kemudian Radikal Bebas ini akan merusak sel-sel tubuh dan menjadikan sel tubuh sebagai sel mutan. Selanjutnya, sel mutan ini akan tumbuh secara liar di dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit degeneratif.

Apakah Radikal Bebas itu? Radikal Bebas adalah molekul yang kehilangan electron-nya, sehingga molekul tersebut tidak stabil. Untuk menstabilkannya, maka molekul tersebut berusaha menarik electron dari sel atau molekul tubuh. Proses ini lah oksidasi yang merusak sel. Radikal bebas ini tidak masuk ke dalam sel tubuh, tapi menempel dan berkarat seperti logam yang terkena air laut. Dalam Gambar 1, pada Tahap 1 dan Tahap 2, sel masih bisa dikembalikan ke sel normal, namun bila sudah memasuki Tahap 3, sel tidak bisa dikembalikan ke kondisi normal dan biasanya dilakukan amputasi. Bisa dibayangkan kalau itu adalah kanker tulang? Atau kanker otak? Bagaimana cara membuang sel kanker itu? Sudah tidak bisa lagi dilakukan amputasi. Biasanya dilakukan kemoterapi dan pengobatan menggunakan nutrisi dosis tinggi.
Hal yang sama sesungguhnya juga terjadi dengan penyakit dan serangan jantung. Tidak ada penyakit jantung yang terjadi secara tiba-tiba (akut) seperti demam berdarah… pasti merupakan akumulasi selama bertahun-tahun, hingga pada saat diketahui, stadium penyakitnya sudah tinggi (ayah saya baru tahu kalau dia mengidap kanker liver setelah batuk darah).

Dengan demikian, bagaimana cara pengobatan kanker dan serangan jantung yang terbaik? Caranya adalah dengan tidak terkena kanker dan serangan jantung. Sialan, kalau gini doang sih gua juga tau… Iya, memang itu caranya, tidak ada cara lain. General check up (kalau perlu dilakukan yang lengkap, termasuk pengecekan sel kanker), hidup yang sehat, berolah raga, makan secukupnya (makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan) dan olah raga yang teratur adalah kuncinya. Apa yang harus saya lakukan kalau saya divonis kanker atau serangan jantung? Serius lah dalam pengobatan dan tingkatkan nutrisi. Hanya itu yang bisa saya sarankan.

Anti Oksidan
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Radikal Bebas, tetapi karena Radikal Bebas mampu memicu oksidasi di tingkal sel, sehingga sel mengalami mutasi itu lah yang menyebabkannya berbahaya. Untuk mengatasi Radikal Bebas, diperlukan nutrisi Anti Oksidan, yaitu: Vitamin A, C dan E. Vitamin-vitamin ini disebut sebagai molekul besar, sehingga Radikal Bebas dapat mengambil satu electron dari nya tanpa merusak vitamin-vitamin ini.Banyak lagi sesungguhnya nutrisi di luar vitamin ini yang jauh lebih kuat dalam fungsinya sebagai Anti Oksidan, seperti zat Phyto Chemical (contoh: Bio Flavonoid) yang sayangnya sangat kompleks untuk dijelaskan dalam satu-dua lembar artikel saja. Untuk itu, saya dorong para pembaca untuk mulai mencari dan membangun pengetahuannya sendiri tentang kanker, serangan jantung dan Anti Oksidan ini.

Friday, September 22, 2006

To 3G or Not to 3G

Seandainya William Shakespeare masih hidup dan berlatar belakang insinyur seperti saya, ada kemungkinan dia akan melontarkan kalimat: To 3G or Not to 3G, that is the question.

Kekacauan yang timbul dari implementasi 3G (baca: triji) di beberapa negara Eropa, khususnya Inggris dan Jerman telah menimbulkan banyak spekulasi mengenai kegagalan teknologi ini. Kemudian, diliriklah teknologi nirkabel lainnya, yaitu WiFi sebagai salah satu solusinya. Tidak mengherankan, kalau Pak Onno Purbo mengatakan bahwa WiFi telah memenangkan ‘peperangan’, mengalahkan 3G di kawasan Eropa (Kompas, 30 Mei 2005).

Sekilas 3G
Sejarah mengenai perkembangan 3G berawal dari pembentukan 3GPP (3G Partnership Project) untuk mengembangkan GSM (digital, low speed) menjadi 3G (digital, broadband). Namun, karena lambatnya pengembangan standar di 3GPP, maka berdirilah satu organisasi lagi, yaitu 3GPP2 yang sejak awal mengembangan teknologi 3G berbasis spread spectrum, yang disebut Code Division Multiple Access (GSM menggunakan Time-based dan sinyal tidak disebar (spreaded) di spektrum frekuensi.


Saya percaya bahwa sebuah teknologi hanyalah salah satu faktor saja. Tidak sedikit perusahaan yang mengusung teknologi terbaru yang juga gagal. Contohnya adalah Global Crossing yang mengaklamasi dirinya sebagai MPLS Provider terbesar di dunia, yang mengajukan Chapter 11 (bankruptcy) di Amerika. Hal yang sama juga pernah terjadi pada teknologi ATM (Asynchronous Transfer Mode) yang menjanjikan network yang jauh lebih baik daripada TCP/IP, namun tidak bisa mencapai skala implementasi yang signifikan.

Pada saat ini, saya melihat adanya kebingungan di masyarakat mengenai implementasi dari teknologi 3G ini. Banyak yang berpikiran bahwa dengan membeli handset 3G, maka akan bisa mendapatkan layanan 3G, padahal tanpa adanya 3G coverage, kemampuan 3G di dalam handset tersebut akan percuma saja. Secara definisi, , ITU mendefinisikan 3G sebagai layanan nirkabel (wireless) yang mampu memberikan kecepatan 144Kbps hingga 2Mbps (tergantung kondisi mobilitas si pelanggan). Dalam pengertian yang lebih umum, 3G adalah generasi di mana multimedia service (seperti layanan video streaming) dapat diakomodir; hal ini hanya bisa terjadi dengan pita lebar (broadband). Untuk itu, 3G adalah layanan nirkabel dengan pita lebar, sedangkan kecepatan yang menengah (±150Kbps) dianggap sebagai transisi menuju 3G.

Berdasarkan pengertian di atas, maka operator yang menggelar teknologi CDMA 2000 1x pada saat ini, belum bisa dikatakan Operator 3G. Namun keunggulan dari penggunaan CDMA (Code Division Multiple Access) dibandingkan dengan GSM adalah kemampuannya untuk berevolusi dengan mulus. Tidak seperti GSM yang harus mengganti sebagian besar perangkatnya untuk bisa pindah ke domain 3G, operator CDMA dapat menambahkan modul saja.


Pada saat ini, dengan teknologi CDMA 2000 1x RTT (RTT: Radio Transmission Technology, 1x berarti penggunaan Frequency Allocation 1 x 1,25Mhz. CDMA 2000 3xRTT berarti FA: 3 x 1,25 Mhz), saya dapat menggunakan datacard di slot PCMCIA laptop saya untuk terhubung ke Packet Data Network (PDN) dan mengakses Internet secara wireless, di mana pun saya bisa mendapat sinyal dengan baik. Kecepatan akses data PDN yang maksimum mencapai 153 Kbps yang jatuh pada kategori 2,5 G, belum 3G. Sedangkan dari sisi GSM, implementasi GPRS dan EDGE, hingga saat ini, in my humble opinion, belum mencapai hal yang menggembirakan (saya percaya bahwa layanan komunikasi data di GSM akan membaik bila menggunakan 3G). Sedangkan operator baru berbasis CDMA (Flexi, StarOne dan Mobile 8) sudah menawarkan layanan PDN ini dengan gencar.


Teknologi WiFi menggunakan salah satu dari ISM band (Industrial, Scientific and Medical), yaitu: 2,4 Ghz. Band ini, setahu saya, pada awalnya ditujukan untuk keperluan non-komersial oleh Federal Communication Commission (FCC) di AS. Tetapi tidak seperti PDN, di dalam jaringan WiFi tidak ada hand off (atau hand over). Untuk bisa menggunakan WiFi, seseorang harus diam di satu tempat dan tidak bisa sambil mobile. Juga, di dalam jaringan yang yang tidak teregulasi, penggunaan frekuensi yang sama bisa saling menginterferensi satu dan lainnya. (Saya tidak memungkiri adanya kemungkinan teknologi WiFi peer-to-peer seperti Skype, namun sampai teknologi itu ada, maka dipastikan tidak ada hand off). Juga, saya melihat bahwa WiFi sebelum mencapai cakupan yang luas, sudah mendapat tantangan dari penerus teknologi ini, yaitu WiMAX dan WiBro (Wireless Broadband) yang semuanya sibuk berpacu. Dan bahkan, belum lagi tuntas pengembangan dan implementasi 3G di berbagai negara, NTT Docomo di Jepang telah mengembangan sebuah teknologi proprietary, berbasiskan spread spectrum, yang disebut MiMO (Multiple Input, Multiple Output), sebagai layanan 4G, yang mampu memberikan throughput hingga 1 Gbps.

Kalau saja teknologi 3G dikatakan gagal karena tidak mampu memberikan kecepatan yang cukup, hal ini memerlukan penelitian yang lebih jauh lagi, karena bila menyangkut real throughput, banyak hal yang terkait di dalamnya. Seperti: interkoneksi (backbone bottleneck), RF engineering (cell breathing, pilot pollution), kondisi server (apakah sibuk) dan juga keterbatasan dari handset (computing power dan memori) tersebut. Saya sendiri pernah melakukan uji coba file transfer PC-ke-PC, dengan menggunakan jaringan berbasis Fast Ethernet yang mampu mencapai kecepatan 100 Mbps, namun dalam percobaan tersebut hanya bisa mendapatkan 2,5 Mbps, maksimum. Apakah berarti teknologi Fast Ethernet gagal? Keliatannya tidak. Intinya, kita tidak perlu over reacting atas sebuah teknologi, karena masih ada faktor lain penentu kesuksesannya.

Up Front Fee dan Kegagalan 3G
Salah satu faktor pemicu kurang berhasilnya implementasi 3G di Eropa menurut pendapat saya adalah tingginya biaya sewa frekuensi yang harus dibayar di muka (up front fee). Karena terlalu mahalnya biaya tersebut, bahkan ada operator yang mundur dari lelang frekuensi (kasus WorldCom mundur dari lelang frekuensi di Jerman). Operator di Eropa menghadapi dilema yang pelik: bila mereka tidak membeli frekuensi 3G maka pasar saham akan menghancurkan market value perusahaannya, namun bila membayar up front fee, sudah bisa dipastikan bahwa keuangan mereka akan bleeding untuk sekian belas tahun ke depan. Pengembalian lisensi 3G oleh PT. Wireless Indonesia Network (WIN) kepada pemerintah bisa menjadi sinyal awal betapa beratnya bagi operator baru untuk menggelar 3G (walau pun operator incumbent mengalami hal yang berat juga dalam mengimplementasikannya).

Pemerintah Indonesia bisa belajar dari kasus 3G di Eropa (Jerman dan Inggris) dan membandingkannya dengan Jepang. Tidak seperti di Eropa, Operator 3G di Jepang tidak dikenakan up front fee; biaya frekuensi dikenakan berdasarkan pola kegunaan (merit based). Dengan pola ini, operator dikanakan biaya US$ 5 / pelanggan / tahun. Bila dihitung, NTT DoCoMo yang memiliki 30 juta pelanggan, harus membayar US$153 juta tiap tahunnya. Sebuah nilai yang cukup kecil bila dibandingkan dengan biaya frekuensi di Eropa. Tidak perlu diherankan bahwa implementasi 3G di Jepang lebih sukses daripada di Eropa.

Perbandingan Biaya Frekuensi 3G di Beberapa Negara


Negara

Tot. Up Front Fee

Jml. Operator
Jerman

US $46,1 Miliar

6

Inggris

US$ 35,4 Miliar

5

Korsel

US$ 3,3 Miliar

3

Singapura

US$ 165,8 Juta

3

Jepang

Tidak Ada

3




Sumber: 3G News Room, 2001


Metode lisensi frekuensi di Jepang memberikan kesempatan bagi operator untuk membangun infrastruktur terlebih dahulu dan membayar pemakaian frekuensi belakangan. Sedangkan mekanisme di Eropa, memaksa operator untuk membayar mahal di muka, kemudian membangun infrastruktur (yang juga mahal), sehingga tidak heran bahwa bukan kompetisi yang didapat, tetapi beberapa operator bergabung, berkolaborasi untuk membeli pita frekuensi. Dengan demikian, masuknya asing di dalam kepemilikan calon operator 3G di Indonesia dapat dipahami.

Pemerintah, dalam beberapa kesempatan telah menentukan target untuk mendapatkan Rp. 5 Triliun (atau setara dengan ± US$ 500 juta), sebenarnya suatu jumlah yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan negara Korea Selatan, misalnya. Namun yang perlu diingat adalah bahwa tidak seperti Jepang atau Korea Selatan yang sesama Asia, pendapatan per kapita Indonesia dan penyebaran kemakmuran di Indonesia masih jauh dari istilah bagus. Kasus kekurangan gizi, banyaknya putus sekolah karena tidak ada biaya yang banyak diberitakan oleh media massa bisa dijadikan bukti, bahwa telah terjadi jurang yang makin lebar antara si kaya dan si miskin.

Peranan Pemerintah
Dengan demikian, saya melihat bahwa masalah 3G ini bukan sekedar masalah teknologi, tetapi sangat erat kaitannya dengan regulasi. Bila operator dikenakan up front fee yang besar (guna memicu pendapatan negara), maka operator akan membebankan biaya ini kepada konsumennya. Tidak seperti bisnis handset, dimana konsumen bersedia membayar harga yang mahal untuk sebuah handset yang fitur-nya pun jarang dipakai, konsumen selalu mencari tarif telepon yang murah. Operator yang membayar lisensi pun akan bleeding selama beberapa tahun ke depan, yang akan sangat memberatkan operator tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Paul A. David menunjukkan bahwa sebuah teknologi infrastruktur akan memberikan keuntungan secara makro, bila deployment dari teknologi tersebut telah mencapai penetrasi minimal 50% dari total populasi. Hal ini terjadi pada industri listrik, telepon, PC dan terakhir Internet. Dibutuhkan waktu 35 tahun bagi Internet untuk mencapai penetrasi lebih dari 50% di AS. Dan usaha Pemerintah AS untuk mendorong baik perkembangan mau pun penetrasi infrastruktur ini dapat terlihat dengan nyata (pada awalnya, TCP/IP bahkan ditujukan untuk pertahanan nasional). Melihat betapa rendahnya penetrasi telekomunikasi di Indonesia, maka Pemerintah sudah selayaknya serius memikirkan hal ini dengan menjadi mampu menjadi pendorong agar penerapan teknologi entah itu 3G maupun wireless lainnya (WiFi, WiMAX, WiBro) dapat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, adalah baik bila pemerintah mengakomodasi baik unlicensed band dan spektrum berlisensi lainnya, sambil mendorong terjadinya kompetisi yang sehat.





Thursday, September 21, 2006

Teknologi dan Lahirnya Kultur Baru

Harus diakui... saya menaruh harapan tinggi dalam implementasi 3G di Indonesia. Barusan saya membaca sebuah buku, berjudul The Long Tail yang ditulis oleh Chris Anderson. Sangat menarik, melihat terjadinya perubahan kultural di dalam masyarakat modern. Seperti yang ditulis oleh John Battele, dalam bukunya: The Search, yang berisi cerita tentang Google, bahwa semua produk dan jasa yang berhasil bersifat kultural. Mouse, adalah contoh gamblangnya. Perangkat ini mampu merubah dunia komputer, dimana alih-alih menggunakan keyboard dan tombol tabulasi untuk berpindah-pindah menu, kita cukup menggerakan kursor dan mengkliknya di sana. Yang berikutnya adalah WYSIWYG pada MS Word. Bayangkan, untuk membuat bold dalam WordStar harus didahuli dengan memblok tulisan dengan perintah CTRL+K+B dan CTRL+K+K. Ini hanya untuk memblok dan bukan membuatnya menjadi tulisan tebal (saya malah sudah lupa command untuk membuat bold). Gila, kalau dipikir-pikir... dengan WYSIWYG, mouse dan sedikit menekan tuts (CTRL+B) tulisan yang tampil di layar berubah menjadi tebal (bandingkan dengan WordStar yang tidak). Pantas saja, WordStar punah.

Sekali lagi: antropologi + teknologi. Professor W. Chan Kim menyebutnya Value Innovation. Jadi tidak selalu teknologi. Bahkan di luar teknologi, masih banyak faktor lain penyebab gagal atau berhasilnya suatu perusahaan atau produk atau jasa. Ambil sebagai contoh Global Crossing, perusahaan ini berencana menggelar jaringan MPLS (sebuah teknologi paling canggih dalam dunia networking) terbesar di dunia dan flop. Why? Missmanagement. Garry Winnick jelas bertanggung jawab atas bangkrutnya Global Crossing. Starbucks, sebagai kopi favorit saya, tidak menggunakan teknologi yang tinggi-tinggi amat untuk membuat kopi (tapi tetap diperlukan teknologi, dan bahkan dalam bukunya, Howard Schutlz, Pour Your Heart Into It, menjelaskan bagaimana Starbucks meningkatkan teknologi coffee roasting dan coffe brewing). Salah satu kunci keberhasilan Google -imho- dapat dijelaskan dengan antropologi ini yang dalam bahasa Google disebut Zeitgeist.

Telepon genggam sebagai salah satu alat komunikasi telah menjadi sesuatu yang kultural (Tahu lagu dangdut SMS yang terkenal itu khan?). Bersifat kultural karena penetrasi penggunanya yang sudah merasuk hingga ke pelosok dan begitu banyaknya individu yang tergantung kepadanya. Seperti ada yang kurang kalau keluar rumah enggak bawa handphone, begitulah kira-kira. Nah, karena penetrasi telepon kabel (wireline) yang rendah di Indonesia. Saya menaruh harapan yang besar kepada implementasi 3G (atau bahkan 4G) di Indonesia untuk meningkatkan penetrasi penggunaan telekomunikasi karena saya melihat bahwa kendala utama di negara ini pada saat ini adalah mahalnya biaya akses. Saat ini, teknologi dan perangkat core dan aggregator sudah menjadi murah dan feasible untuk diimplementasikan, misal:

  1. Fiber optic: bahkan PGN (atau oil and gas company lain) pun bisa menggelar dark fiber.
  2. EDFA (Erbium Doped Fiber Amplifier), untuk repeater yang memungkinkan penguatan sinyal dari optik-ke-optik, dibanding dulu: optik-listrik-optik.
  3. Multiplikasi kapasitas: DWDM, multipeksing di tingkat lambda, yang memungkinkan kapasitas tinggi (DWDM yang terakhir yang saya ketahui sanggup memberikan kapasitas hingga 2,5 Gbps).
  4. Cisco Gigabit Switch Router dan Juniper M Series (produk Juniper, menangani minimal 5 Juta Paket per detik) tidak ada produk edge router dari Juniper Networks.. (kedua perangkat dikembangkan oleh orang yang sama: Tony Li)

dan lain-lain

Saat ini sudah jelas tidak feasible (walau pun saya berargumen bahwa hal ini karena kurangnya atau tidak ada dari kita yang memikirkan hal ini) untuk menggelar kabel tembaga dan meningkatkan penetrasi pengguna telekomunikasi di Indonesia. Jawabannya memang harus wireless. Sebagaimana diuraikan oleh Anderson, di negara-negara dimana penetrasi broadband sudah tinggi telah terjadi perubahan kultural yang mendasar, yaitu: tumbuhnya niche market dalam jumlah yang sangat banyak. Begitu kuatnya perubahan kultur ini hingga saat penyerahan Emmy Awards, Conan O'Brian, sebagai host acara menyebutkan beberapa produk / layanan yang tersedia yang menyebabkan munculnya kultur baru ini seperti: YouTube, TiVo, iPod dan lain-lain. Saya baru menyadari perubahan kultur yang drastis ini pada saat saya membeli PC Dell Optilex GX620 MT dengan layar lebar (20 inch) dan tiba-tiba saja hal seperti ini terjadi:

  1. Saya melakukan searching dan download video menggunakan layanan torrent (BitTorrent) atau P2P (Morpheus).
  2. Saya copy file ukuran besar tersebut ke dalam iPod saya.
  3. Saya pindahkan ke hard disk Optiplex di rumah.
  4. Saya mainkan dengan sound system JBL Stick --> rasanya seperti nonton film di bioskop aja..!

(Pada awalnya, saya membeli Dell layar 20 inch, adalah untuk fotografi digital, wish list saya berikutnya adalah (1) Dell XPS, yang mampu menyimpan storage hingga 1,5TB yang dikembangkan khusus untuk gamers dan (2) Apple iMac untuk fotografi digital saya).

Apa yang saya ceritakan ini mungkin tampak nonsense untuk orang Indonesia kebanyakan, karena hampir semua film bagus sudah ada DVD bajakannya. Tapi, pertanyaan nya adalah bagaimana dengan film-film yang tidak beredar di Indonesia. Sebagai contoh, saya iseng-iseng melakukan searching dengan judul Zulu Dawn (film ini seperti Perang Puputan di Badung, Bali yang baru saja diperingati), sebuah film yang terbit tahun 70-an dan mendapatkannya di Internet P2P. "Ini luar biasa..!" pikir saya (sayang nya, karena koneksi yang lambat, saya belum berhasil men-download-nya).

Sama dengan Anderson saya melihat perubahan kultural yang mendasar sedang terjadi di dunia. Perubahan ini terjadi disebabkan oleh tiga alasan:

  1. Meningkatnya computing power (dan harga yang terus turun). Persaingan Intel dan AMD baik buat perkembangan pasar. Menurut sebuah perhitungan, antara tahun 1976 dan 1999 – dan bukan karena Hukum Moore – harga komputer rata-rata turun 27% per tahun (Sweatshop a la Apple BusinessWeek, 26 Juli 2006, pp 21-22). Hal ini terjadi, simply dengan memindahkan manufaktur ke tempat yang man labor nya lebih murah.
  2. Peningkatan kapasitas storage dan harga yang turun terus. Tahun lalu, Apple RAID 1 TB berharga US$ 13,000 dan sekarang dengan harga yang sama kita bisa mendapat 7 TB. Sony PS3 menggunakan disc dengan format BluRay yang mencapai beberapa kali atas format DVD yang ada saat ini. Teknologi virtual storage, seperti NetApps, akan menjadi salah satu pendorong juga.
  3. Bandwidth availability. Bukan bandwidth di tingkat core network, tetapi di tingkat akses (last mile).

Dari ketiga faktor ini lah munculnya beragam content, data, dan statistik. Web blogs yang mampu menyaingin major media seperti MSNBC. MySpace dengan lebih 100 juta friends. Anda bisa melakukan fotografi dari handphone dan langung meng-upload nya ke web blog (www.cyworld.com) dengan kapasitas storage yang tidak dibatasi. Wikipedia berisi 1 juta artikel (bandingkan dengan Britannica - 80.000 dan Encarta - 45.000). Dan saat diperlukan koreksi atas artikel di Wikipedia, secara instan bisa dilakukan, sementara itu Britannica harus menerbitkan edisi yang terbaru dan keburu basi). Google Maps bisa memberikan data peta secara akurat (but not in Jakarta!).

Namun, sayangnya, dari ketiga faktor di atas... penetrasi layanan telekomunikasi yang rendah dan last mile yang mahal di Indonesia justru terjadi. Solusinya: wireless. Konon, biaya untuk implementasi wireline memerlukan biaya US$1,000 per ss, sedangkan wireless jauh lebih murah. Dalam wireless bisa mencapai US$100, bahkan kurang (dengan solusi dari Cina?... ha!). Tidak ada investor gila yang mau menanam uang sebesar US1,000 kalau bisa melakukannya dengan fraksi dari angka tersebut.

3G (atau 4G) Sebagai Harapan

3G (atau 4G) menjanjikan satu hal: affordable broadband at the last mile...! Suatu hal yang didamba-dambakan. Sayang-nya, belom apa-apa.... pemerintah sudah memberikan beban yang berat dalam upfront fee 3G di Indonesia. Heran... Padahal di Jepang, negara yang kaya itu, pemerintah nya tidak mengenakan upfront fee. Operator di sana baru membayar lisensi frekuensi setelah ada pelanggan yang aktif. Metode ini disebut dengan merit-based, atau pay as you grow. Dan satu hal lagi masukan untuk pemerintah:

"Belum pernah ada operator 3G yang berhasil, hanya dengan memiliki lebar spektrum sebesar 5 Mhz"

NTT Docomo dan operator 3G lain di Jepang mendapat 20 Mhz, tiap operator di Korea mendapat 20 Mhz, Malaysia menjatah 15 Mhz, dan lain-lain. Bahkan dalam percobaan 4G, Docomo menggunakan 100 Mhz untuk downstream dan 40 Mhz untuk upstream. Hasilnya? Throughput sebesar 1 Gbps.

Tidak lama lagi, saya mengestimasi adanya High Defintion Screen untuk layar handphone (Btw, Nokia N93 sudah bisa merekam dengan 30 FPS). Sehingga streaming sudah akan menjadi sangat biasa di masa depan. Nah, dengan implementasi 3G dan 4G yang affordable to the masses, maka perubahan kultur pun akan terjadi, dimana informasi menjadi abundance (bayangkan, kita melakukan searching di Wikipedia menggunakan handset atau PDA). Kegagalan 3G di negara-negara Eropa, menurut pendapat saya adalah karena mereka berfokus pada teknologi dan bukan manusia (antropologi). Sedangkan Jepang, seperti Docomo berpusat pada manusia dan bukan teknologi (Docomo menggunakan teknologi proprietary berbasis CDMA). Hal ini dibuktikan dengan berbagai content dan aplikasi yang sangat Jepang, seperti animasi, kemudahan dalam huruf kanji, dan lain-lain. Saya percaya bahwa broadband dan ketersediaan informasi (baca: content) lah yang akan menjadi key driver dalam pengembangan kultur di masa depan dan saya ingin melakukan apa pun yang diperlukan untuk mewujudkan hal ini. Bergabunglah bersama saya untuk mewujudkannya..!